Refleksi: Keangkuhan

Persefone Nyctophile
3 min readJan 24, 2024

--

“Seandainya manusia diambil dari dunia, yang tersisa akan tampak tersesat, tanpa tujuan atau maksud … dan tidak mengarah pada apa pun.”
 — Francis Bacon, Wisdom Of The Ancients (1619). Dikutip dari Carl Sagan, Pale Blue Dot.

Sumber: Pinterest

Seangkuh apa menurutmu, jika manusia merasa bersatu dengan alam? Jika menurut kaum Stoa alam itu rasional, dan kita menyandingkan diri dengannya, kesombongan macam apakah yang merasuki kita? Hanya penyairlah yang boleh dengan sewenangnya menggunakan alam sebagai simbolisasi atas syairnya.

Kiranya kita akan sama-sama sepakat dengan Francis Bacon yang dikutip Carl Sagan dalam Pale Blue Dot yang disematkan di atas. Tentang bagaimana manusia yang tidak pernah bisa lepas dari aspek duniawi.

Menurut manusia, memang apa yang bisa menjadi tumpuannya jika dunia dihilangkan dari pandangan kita? Tidak ada. Kecuali jika kita setuju pada tempat lain selain dunia, tentu saja harapan kita akan ditumpukan pada suatu hal itu.

Kendatipun, tanpa menghubungkan dengan agama mana pun, ungkapan “Dunia hanya sementara, akhirat selamanya” bukanlah ungkapan yang tepat pula.

Kiranya bahkan kita masih mengkuantifikasi hal yang jelas-jelas spiritual. Jadi, menumpukan harapan pada sesuatu hal di luar dunia pun tetap saja harapan yang mereka bayangkan masih bersifat keduniawian. Seperti surga dan neraka di berbagai agama yang masih dinarasikan berdasarkan aspek duniawi.

Pun, orang yang berambisi pada suatu hal dan meninggalkan hal lain tak menjadikan ia lepas dari dunia, ia hanya pindah dari dunia satu ke dunia lainnya. Lantas, bagaimana bisa manusia bisa melepaskan diri dari hal yang sudah melekat darinya sejak awal?

Bahkan, dalam triadik Lacanian, urutan bagaimana manusia memasuki tiap tahapan tidaklah seperti itu. Yang ada, semenjak lahir, mereka sudah terjamah oleh tiga triadik tersebut.

Mereka tidak pernah suci sejak lahir, sudah tersentuh pernak-pernik dunia dan segala simbolisasinya. Seperti bagaimana orang tua memberikan nama, berharap artinya menjadi bagi sang anak. Lantas, sekali lagi, saya bertanya, diri manusia manakah yang terlepas dari dunia dan selaras dengan alam?

Dunia yang dimaksud tidak diartikan harafiah sebagai dunia nyata yang kita tinggali. Melainkan, bagaimana nilai-nilai terbentuk dari pribadi setiap orang sehingga membentuk dunia yang bermakna ini, dan kita adalah makhluk yang melekat dengan dunia.

Tidak — maksud tulisan ini bukan untuk mengagungkan dunia, justru untuk menyadarkan manusia bahwa mereka tidak akan pernah bisa lepas darinya.

Jika benar kita diciptakan dan hidup dari alam, maka alam yang dari kita berasal dan alam yang menumbuhkan kita tidak sama dengan alam yang berada di luar pemahaman kita.

Sampai kapan pun, kita akan terus memaknai alam berdasarkan kacamata keduniawian. Tentang bagaimana kita meromantisasi alam, adalah cara bagaimana manusia memandangnya dari sudut pandang duniawi. Karena kita memang tidak pernah bisa lepas darinya.

Ambil salah satu contoh. Bagaimana bisa seorang pria yang bersandingan dengan seorang wanita bisa menebak parfum si wanita berdasarkan gender? Padahal sang pria tidak mengetahui merk parfum tersebut.

Sang pria hanya menciumnya, lantas ia merasa bahwa aroma yang dihirup adalah aroma maskulin, bukan feminin. Bukankah itu adalah suatu bukti bahwa, sebagaimana pun kerasnya kita berusaha menghindar, dunia akan selalu memeluk dan merasuk ke dalam diri kita.

Oleh sebab itu, kiranya jika kita telah merasa selaras dengan alam, apalagi mendasarkan moralitas kita kepada alam dan menghapus dunia, itu hanyalah anggapan yang kita sematkan kepadanya. Jika orang seperti itu tetap mengelak, maka wajarkanlah, karena tidak ada manusia yang tidak hipokrit.

Bahkan, kita sendiri, adalah manusia yang senantiasa menipu diri. Berpura-pura tidak ingin atau tidak setuju, padahal apa yang menjadi tindakannya tidak pernah bisa berbohong.

Lucunya, jika kita mengatakan bahwasanya kita bukanlah siapa-siapa, mereka tidak akan mau menerima. Jika kita katakan bahwa apa yang ada di sekeliling kita, bahkan yang kita kenakan, itu tidak berarti apa-apa, pastinya mereka pun tidak mau percaya.

Karena tanpa kepercayaan bahwa kita adalah apa-apa, kita tidak akan menjadi siapa-siapa, sedangkan manusia butuh hal seperti itu. Jika kita mengatakan bahwa mereka munafik, begitupun kita, sebagai manusia, tentu tidak pernah tidak munafik.

Tidak ada yang salah dengan mereka yang hipokrit, kiranya kita semua memang hipokrit dan tidak pernah suci. Hanya orang yang merasa sucilah yang boleh suci. Toh, selama ini kita telah merasa berharga padahal nyatanya hanya debu di antara mereka yang sama saja dengan kita.

Namun, begitulah khayalan dan mitos yang menunjang manusia agar tetap hidup. Bukan makanan yang membuat kita bertahan di dunia, melainkan imajinasi yang senantiasa menjaga, merawat, dan memberi harapan kepada kita.

Maka, angkuhlah mereka yang menyangkal apa yang membuat manusia menjadi manusia. Dan sombonglah mereka yang merasa telah bersanding dengan alam!

--

--

Persefone Nyctophile
Persefone Nyctophile

Written by Persefone Nyctophile

You've known by seeing my profile picture.

No responses yet