Metamorfosis Kafka Dalam Pertanyaan Perempuan

Persefone Nyctophile
4 min readNov 27, 2023

--

Sumber gambar: Pinterest

“Apakah jika aku menjadi cacing kamu akan tetap mencintaiku?”

Sekilas pertanyaan tersebut terdengar tidak masuk akal, tetapi bagaimanapun seorang perempuan melontarkannya kepada pria yang merupakan kekasihnya. Pria tersebut tampak termenung sembari menopang dagu. Dengan ekspresi kebingungan, ia mencoba mencerna pertanyaan yang diberikan perempuan kesayangannya itu.

“Perempuanku selalu menanyakan hal yang aneh bahkan sepele, tetapi dari sana aku menemukan bahan kontemplasi,” ungkap pria itu dalam hati.

Selagi pria tersebut terdiam untuk berpikir, perempuan itu mengigit permen kapas yang dibelikan kekasihnya sembari menunjukkan gerak-gerik tidak sabar.

Gerakan yang ditimbulkan perempuan tersebut membuat sedikit suara pada kursi kayu yang mereka duduki. Namun, mereka tidak mengindahkan kursi lapuk itu. Pasalnya cahaya jingga dan angin pada sore itu memberikan kesan romansa di antara mereka berdua.

“Yah, permennya habis!”

Gigitan terakhir permen kapas itu membuat sang perempuan menggerutu dalam hati. Ia menengok kepada kekasihnya yang terlihat masih menimbang-nimbang jawaban.

Sesaat kemudian, pria tersebut menatap kedua mata kekasihnya dengan dalam. Meskipun sang perempuan sering ditatap seperti itu, tetapi ia masih merasa tersipu dan memalingkan wajah.

“Kenapa aku harus menjawab sesuatu yang belum pasti terjadi?” Akhirnya pria itu pun mengeluarkan suaranya.

Kemudian perempuan itu membalikan wajahnya, tetapi tanpa menatap kedua mata sang pria. “Karena bisa saja itu terjadi, kita tidak akan pernah tahu bagaimana kita ke depannya.”

“Ada benarnya juga, tetapi kenapa harus cacing? apakah ada sesuatu di baliknya?”

Mata sang pria tertuju ke arah cacing yang menempel pada sebuah batang bunga yang ada di depannya. Perempuan itu pun mengikuti apa yang dilakukan kekasihnya.

“Karena cacing adalah hewan yang menjijikan, manusia mana pun sepertinya tidak sudi berpacaran dengan cacing.”

“Hmm … sepertinya kau sudah tau jawabannya,” ujar pria tersebut dengan tatapan yang masih sama.

“Umm, tidak sudi lagi berpacaran denganku karena aku seekor cacing?!”

Tak pelak lagi, perempuan menunjukkan nada marah dengan mengernyitkan alis. Bibir yang dipoles liptint pink beraroma strawberry-nya pun turut mengerucut.

Pria itu terkekeh melihat tingkah kekasihnya yang menurutnya menggemaskan.

“Tentu saja aku sudi. Jika cacing itu dirimu, aku mau berpacaran dengan cacing.”

“He? T-tapi kenapa?”

Alis perempuan itu terangkat dengan cepat, menunjukkan tanda tidak percaya.

“Karena hanya rupanya yang berubah, tetapi cacing itu tetaplah dirimu,” jawab pria tersebut dengan senyum yang tersemat di wajah tampannya.

Menanggapi jawaban tersebut, sang perempuan masih merasa tidak puas dan mencari-cari alasan.

“Tetapi aku akan menyusahkanmu dan dianggap aneh oleh orang lain!”

Pria itu kembali menatap pada kedalaman mata perempuannya dengan lembut. Telapak tangannya yang sedari tadi ia simpan di atas pahanya mulai membelai rambut halus perempuan itu.

“Begini sayangku, apakah jika dirimu tidak punya fungsi sebagai manusia pada umumnya, kamu tidak layak untuk kuhargai dan kucintai?” tanya pria tersebut kepada kekasihnya.

Gombal terus ih, masa iya kamu mau pacaran sama binatang meskipun itu aku! Kasih alasan yang masuk akal, dong,” pinta perempuan itu dengan ekspresi kesal.

“Dasar perempuanku, pertanyaannya saja aneh begitu, tetapi minta jawaban yang masuk akal,” gumam sang pria dalam hati.

Pria itu tersenyum tipis dan menghela napas sesaat. Menurutnya tidak ada yang lebih menggelitik dan membuatnya menggelengkan kepala selain tingkah laku kekasihnya.

“Hmmm … mungkin orang lain akan menganggapku aneh, tetapi apakah kita harus selalu menuruti standar masyarakat tentang nilai yang kita pegang?”

Sang pria berhenti sejenak sebelum lanjut berbicara.

“Jika masyarakat menilai cacing itu adalah hal yang menjijikkan, maka tidak bagiku. Karena bagaimanapun aku bebas menentukan nilai apa yang kuberikan kepada sesuatu, dan masyarakat tidak berhak mengintervensi itu. Sesungguhnya persepsi mereka itu sama saja dengan orang lain, sama-sama dikendalikan oleh sesuatu kekuatan yang mengatur.”

“Ya kamu bilang begitu karena aku belum berubah menjadi cacing. Coba kalo udah berubah, apa masih bisa kamu berkata demikian?” sanggah perempuan itu, ia masih tidak puas terhadap apa yang didengarnya.

“Coba kutanya, menurutmu aku ini apa jika tidak kamu anggap sebagai kekasih? Semua makna yang disematkan kepada kita itu pada akhirnya bergantung kepada si pemberi. Jadi kenapa harus terpaku pada satu pemaknaan tunggal jika ternyata penilaian tiap orang itu berbeda-beda?”

Sang pria mulai serius, tangannya yang satunya lagi ia gunakan untuk memijit pelan pelipisnya.

“Tapi, konsekuensinya aku akan dianggap sebagai anomali. Karena begitulah cara kerja masyarakat. Apa yang dianggap baik atau buruk oleh mereka, tentu harus berlaku juga pada kita. Ada pepatah mengatakan, ‘Di mana bumi dipijak, di sanalah langit dijunjung,’” jelasnya sembari menunjuk ke arah langit.

Setelah itu ia mulai melanjutkan, “Dalam artian, jika aku dianggap sebagai anomali, maka mereka tidak akan menganggapku lagi sebagai bagian dari mereka. Tidak usah jauh-jauh menjadi cacing, sayang, tampilan manusia pun jika tidak sesuai standar mereka maka sama-sama tidak akan dianggap.”

Sembari celingak-celinguk, perempuan itu sedikit merapatkan tubuhnya kepada sang pria. “Entah kenapa aku menjadi takut.”

“Mengapa takut?” Ia bertanya sebelum kemudian merangkul bahu perempuannya.

“Meskipun penjelasanmu lengkap, tetapi pada kenyataannya aku takut dilupakan, orang tuamu menjodohkanmu, dan kamu menikah dengan wanita lain.”

Perempuan itu mendekapkan kedua tangannya di dada. Raut wajahnya nampak sedih, ia merasa tidak ada yang lebih menyedihkan ketimbang dilupakan oleh orang yang dia sayang.

“Sudah kubilang aku tidak akan meninggalkanmu. Toh, sejak awal aku tidak pernah menaruh ekspektasi kepadamu. Aku mencintaimu tanpa alasan, maka aku tidak akan berpaling dengan alasan apa pun,” bisik sang pria dengan tutur yang lembut.

Mata perempuan itu berbinar, ia merasa terharu dengan apa yang diucapkan kekasihnya itu.

“Harusnya kau tahu, aku bukan dan tidak akan pernah menjadi mereka,” lanjut sang pria.

“Tidak seperti mereka? Uhm, berarti kamu bukan manusia, dong?” tanya perempuan itu dengan ekspresi yang polos.

Pria itu terkekeh untuk yang kedua kalinya. “Memangnya menurutmu, manusia itu layak disebut manusia karena apa?”

Pertanyaan dan senyum tipis sang pria membuat perempuan itu terdiam.

Ia tidak berniat menjawab karena menurutnya pertanyaan itu tidak penting. Tetapi, memangnya apa yang membuat sesuatu itu layak disebut penting?

Inspired by Franz Kafka-La Metamorphosis

.

Listen: https://open.spotify.com/track/0FJL3Dwu8oUpwDb80qNdvP?si=p58ERZozSA-S5qY16pg5ew

--

--

Persefone Nyctophile
Persefone Nyctophile

Written by Persefone Nyctophile

You've known by seeing my profile picture.

No responses yet